BARRU - Terkait dugaan Oknum Pejabat Eselon II melakukan tindak pelecehan di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, berbuntut panjang.
Dikutip dari Radar Barru, Kini terjadi saling lapor ke ranah hukum. Pelaku terlebih dahulu melaporkan korban dan sejumlah media, disusul korban pun melaporkan pelaku kepihak berwenang.
Menggapi hal tersebut pembinan radarbarru.com Imanta Ginting, sekretaris Jenderal Jokowi Centre mengatakan semua pihak harus menghargai dan menghormati independensi jurnalis.
Selain berfungi sebagai pemberi berita, jurnalis juga bekerja sebagai sosial kontrol soasial terhadap keadilan, pembangunan dan pemerintahan , jadi semua produk jurnalisme dilindungi hukum selama mejunjung kode etik jurnalis
Imanta Ginting, sekretaris Jenderal Jokowi Centre, sependapat Doktor Jurnalistik Mas’ud, Muhammadiah struktur berita, mulai dari judul hingga isi berita tidak ditemukan bukti pencemaran nama baik yang dialamatkan kepada seseorang, seperti yang dilaporkan tim hukum terduga pelaku.
"Judul dan isi berita tidak menyebut nama pelaku. Bahkan hanya disebutkan oknum pejabat eselon II. Diketahui di Barru terdapat 25 pejabat eselon II. Begitupun korban namanya disamarkan, "ucapnya.
Berkaitan dengan tata kelola penulisan berita, lanjut Mas’ud Muhammadiah, khsusunya penerapan penafsiran pasal 3 Kode Etik Jurnalistik misalnya mengatakan, menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
"Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta dan Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang, "jelasnya.
Menurutnya, penerapan pasal 3 Kode Etik Jurnalistik ini dilakukan wartawan RadarBarru.com dan terlihat dalam struktur berita.
"Didalam berita, wartawan RadarBarru.com pun menyebut sumber dari pemberitaan ini diambil dari Ujungjari.com. Ini berarti pihak Ujungjari.com sebagai pihak sumber utama dari berita ini, "ungkap mantan wartawan ini.
Dengan demikian, lanjutnya, Ujungjari.com pun bertanggung jawab atas berita ini, urai Mas’ud Muhammadiah.
"Jikapun kasusnya ini dilarikan ke masalah fitnah yang dilakukan wartawan, maka pasal 4 Kode Etik Jurnalistik mengatakan, Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul, "urainya.
"Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi, "jelasnya.
Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara. Hal inipun yang tidak tersurat dalam struktur berita RadarBarru.com.
Selain itu, Pasal lain yang berkaitan dengan kasus pelecehan, Kode Etik Jurnalistik pasal 5 menegaskan, wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
"Yang dimaksud identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak. Karena oknum terduga pelaku maupun terduga korban tidak tersurat dalam struktur berita maka berita RadarBarru.com tidak bisa dikategorikan melanggar Kode Etik Jurnalistik. Bersadar dari pasal 3, 4, dan 5 tersebut maka laporan pencemaran nama baik ini salah alamat, ” tambah Mas’ud Muhammadiah.
Dalam hal penyelesaian sengketa pers, sebenarnya ada jalurnya, yakni Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers). Undang-undang ini disebut lex specialis (hukum yang lebih khusus) terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam hal ini, Mas’ud Muhammadiah menjelaskan, terdapat suatu permasalahan yang berkaitan dengan pemberitaan pers, maka peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah UU Pers. Mekanisme penyelesaian yang dapat ditempuh adalah melalui hak jawab (pasal 5 ayat 2 UU Pers) dan hak koreksi (pasal 5 ayat 3 UU Pers).
"Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya, sedangkan hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain, "tegasnya.
Selain itu, jika ada hal-hal yang tidak diatur dalam UU Pers, baru merujuk ketentuan-ketentuan di dalam KUHPer atau KUHP, ” tutup Mas’ud Muhammadiah. (*/Irf/IG)